Sumber :NU Online

Selain mengetahui berbagai hukum zakat, hendaknya seorang muzakki  (orang yang hendak membayar zakat) juga memperhatikan berbagai etikanya sehingga pembayaran zakatnya diterima dan diridhai Allah SWT. Lalu apa saja etika membayar zakat yang harus diperhatikannya? 1. Segera Membayar Zakat Setelah Waktu Wajibnya Tiba Ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, yaitu: a) menampakkan rasa senang menaati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya; b) membahagiakan orang yang menerimanya; c) sadar bahwa kalau ditunda bisa saja ada hal lain yang menghalanginya; dan d) menjadi maksiat apabila sampai habis waktunya zakat belum jadi dikeluarkan. 2. Merahasiakan Pembayaran Zakat  Merahasiakan zakat lebih dapat menghindarkan seseorang dari riya’ (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas). Allah berfirman: … وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ … (البقرة: 271 Artinya, “… Dan apabila kalian menyembunyikan (pembayaran) zakat dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagi kalian …” (Al-Baqarah ayat 271). Bahkan segolongan ulama salaf secara sungguh-sungguh berupaya merahasikan zakatnya, yaitu dengan menyalurkannya lewat perantara, sehingga penerima zakat tidak mengetahui siapa pemberi sebenarnya. Hal itu dilakukan tidak lain karena menghindari sifat riya’ dan sum’ah. Sebab, ketika sifat riya’ mendominasi pembayaran zakat, maka ia akan meleburnya, meskipun secara fiqh zakatnya sah. 3. Membayar Zakat Secara Terang-terangan  Allah SWT berfirman: إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ … Artinya, “Jika kalian menampakkan zakat kalian, maka itu baik sekali …” (Al-Baqarah ayat 271). Etika ini dilakukan ketika situasi dan kondisi mendukungnya. Yaitu ada kalanya agar ditiru atau karena ada seseorang yang meminta zakat secara terang-terangan di depan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya muzakki tidak menghindar dari memberikan zakatnya dengan alasan khawatir riya’. Namun seharusnya ia tetap memberikan zakat serta menjaga hati dari riya’ semampunya. Sebab, dalam membayar zakat secara terang-terangan, selain terdapat riya’ dan al-mann (menyebut kebaikan), terdapat unsur yang tercela lain, yaitu menampakkan kefakiran orang lain. Karena terkadang seseorang merasa hina ketika dirinya terlihat membutuhkan. Sebab itu, orang yang terang-terangan meminta, ia telah merusak rahasianya sendiri, dan unsur tercela (menampakkan kefakiran orang lain) yang ada dalam pembayaran zakat secara terang-terangan tadi sudah tidak berarti lagi. 4. Tidak Merusak Zakat  Maksudnya tidak merusak zakat dengan al-mann dan al-adza. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) zakat kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) …”  (Al-Baqarah ayat 264). Al-Mann adalah menyebut-nyebut amal saleh (dalam hal ini zakat) dan menceritakannya, mengeksploitasi si penerimanya, atau takabur kepadanya karena zakat yang diberikan. Sementara al-adza adalah menampak-nampakkan zakat, mencela kefakiran, membentak-bentak, atau mencerca si penerima karena meminta-minta zakat kepadanya. 5. Menganggap Zakatnya Sebagai Hal Kecil Hendaknya orang yang membayar zakat menilai zakatnya sebagai hal kecil dan tidak membesar-besarkannya. Sebab bila dibesar-besarkan maka akan melahirkan sifat ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri). Padahal ‘ujub termasuk perkara yang melebur amal. Allah berfirman: وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا … (التوبة: 25 Artinya, “Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat sedikitpun bagi kalian …” (At-Taubah ayat 25). 6. Zakat dengan Harta Terbaik Mengeluarkan zakat dengan harta yang terbaik dan yang paling disukai. Sebab, Allah adalah Dzat Yang Maha Baik dan tidak menerima kecuali harta yang baik. Bila yang dikeluarkan bukan harta yang terbaik maka termasuk su`ul adab kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur`an disebutkan: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ … (البقرة: 267) Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian, dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian menafkahkan daripadanya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata padanya.” (Al-Baqarah ayat 267). 7. Selektif Memilih Penerima Zakat Yaitu dengan memprioritaskan orang-orang yang mempunyai sifat-sifat berikut ini; bertakwa, ahli ilmu agama, benar tauhidnya, merahasiakan dari membutuhkan zakat, punya keluarga, sedang sakit dan semisalnya, dan merupakan keluarga atau kerabat. (Jamaluddin Al-Qasimi, Mauizhatul Mu`minin, juz I, halaman 95-99). Dengan memenuhi tujuh etika ini, harapannya zakat yang dilakukan dapat diterima dan diridhai Allah SWT, serta mendapatkan balasan pahala yang sangat sempurna.

(Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur)

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *